2017-09-06

Perintis Jalan Yang Pertama


Kitab Barencong - Pengantar dan Perintis yang pertama dalam ilmu bathin, atau ilmu hakikat/ilmu tasawuf adalah RASULULLAH sendiri. Kemudian dijadikan suatu pelajaran, dan ilmu tersendiri oleh Sayyidina ALI KARAMMULLAHU WAJHAH, kemudian dilanjutkan oleh HASAN BASRI anaknya. Hairoh yang menjadi pembantu pribadi Ummu Salamah yaitu ketika HASAN BASRI masih kecil ilmu ini sudah mulai melimpah kepada beliau, karena dekatnya kepada Rasulullah s.a.w. 

Kemudian Ahli kebatinan yang pertama sekali ialah: ABU HASYIM AL KUFI, beliau berasal dari Kufah yang meninggal pada tahun 150 atau tahun 761 M. Adapun sumber ilmu tasawuf itu adalah dari AL QUR’AN dan AL HADITS. Dan menuntut ilmu ini adalah hukumnya Fardhu ain. Maka barang siapa tidak peroleh ilmu ini ditakuti mati dalam kekafiran.

MA’RIFATULLAH.
SEBELUM MENGENAL TUHAN,KENALLAH DIRI.

MENGENAL DIRI:

Diri itu ada dua unsur.
  1. Diri dzahir berupa jasad.
  2. Diri bathin berupa Ruh.
Dan diri itu dapat pula dibagi atas 3 unsur.
  1. Diri yang Hak (diri yang sebenarnya)
  2. Diri terperi (Muhammad)
  3. Diri terdiri (Adam).
Dan Ruh itu ada tiga Martabat.
  1. Ruh idhofi (nafas yang keluar masuk)
  2. Ruh mukayyat (yang mengedari/yang bergerak keseluruh tubh)
  3. Ruh mutlak (yang tetap pada tempatnya)
Dan Zat itu ada tiga Asma.
  1. ZAT illahiyah
  2. ZAT masbiyah
  3. ZAT addahiyah.
Dan diri dzahir ada dua unsur bahagi pula.
  1. Jasad yang mengandung Ruh.
  2. Ruh yang mengandung Jasad.
Dan diri kita ini mengandung dua aspek.
  1. Diri yang bersifat ketuhanan (lahud)
  2. Diri yang mengandung kehambaan (nasud)
Dan dalam diri kita ini mengandung tiga Rahasia.
  1. Rasa yang Hak (rasa tuhan)
  2. Rasa Muhammad (Nur Muhammad)
  3. Rasa Adam (rasa yang tercela).
Dan didalam diri kita ini ada suatu perbendaharaan yang tersembunyi: disitu ada mahligai. Didalam mahligai itu ada alat yang halus, ada yang kasar. Kesemuanya itu adalah berupa amanah tuhan dan suatu titipan Tuhan kepada hambanya. Amanah itu ialah suatu titipan Ruh dan itulah yang wajib kita pelihara dan kita jaga kemurniaannya. Ruh inilah yang sanggup mengenal Tuhannya. Dan yang sanggup melaksanakan sebagai khalifah didalam bumi ini. Apakah alat yang halus dan kasar itu tadi?

Sekarang marilah kita uraikan satu persatunya.

Adapun diri kita ini ada dua unsur/macam.

Pertama diri dzahir berupa jasad. Batang tubuh dengan kelengkapannya seperti; kaki, tangan, mata hidung, mulut telinga, dan lainnya. Serta dalam tubuh ini ada Ruh, hati, akal dan nafsu. Yang kesemuanya itu tergolong alam yang disebut alam sagir (alam kecil). Yang kesemuanya itu terjadi dari unsur-unsur api, angin, air dan tanah/bumi. Inilah yang disebut laksana kuda tunggangan yang menjadi alat bagi hakikat Roh itulah sebagai penunggangnya.

Kedua diri bathin yang berujud qalbu atau Ruh. Bukannya ber-ujud benda dalam tubuh, dan dia tidak akan binasa untuk selamanya. Dialah yang sanggup memerintah jasad, dialah yang mampu mengenal Allah. Dialah Raja kuasa. Ruh itu raja kuasa dan sanggup mengenal Allah. Apakah sebabnya dikatakan raja kuasa? Sebabnya ialah karena ruh itu adalah yang menjadi tempat majhor kenyataan terang benderangnya sifat-sifat Allah. Ruh Muhammad itulah/adalah dari NUR menyata. Itulah yang dikatakan cahaya yang cerlang cemerlang yang tiada harapan: Tuhan bertajali kepadanya. Sedabg sifat-sifat Allah itu ada pada ZATnya. Maka apabila kita mendakwa kepada Ruh, maka haruslah ditembuskan pandangan kita kepada Sifat dan Zat Allah. Supaya tidak terdinding lagi kepada Allah.

Kalau kita terhenti kepada ruh itu saja, tidak kita teruskan kepada Allah, maka kita terdinding kepada Allah. Kalau masih betah berdiam kepada Muhammad, ber-arti belum kembali atau belum pulang landas kepangkalannya. Kalau sudah pernah tinggal landas inilah yang dikatakan orang yang bergembira setiap saat. Sedangkan Rasulullah sendiri sebagai asal usul segala kejadian, toh beliau pulang kembali kepangkalannya, apalagi kita ini.

RUMUS / MOTIVATOR
  1. Hidup tubuh karena nyawa, hidup nyawa karena Allah.
  2. Tahu hati karena tahu Ruh, tahu Ruh karena Allah.
  3. Kuasa anggota tubuh karena Ruh, kuasa Ruh karena kuasa Allah.
  4. Berkehendak puad karena berkehendak Ruh, berkehendak Ruh karena berkehendak Allah.
  5. Mengdengar telinga karena mendengar Ruh, mendengar Ruh karena mendengar Allah.
  6. Melihat mata karena melihat Ruh, melihat Ruh karena melihat Allah.
  7. Berkata mulut karena berkata Ruh, berkata Ruh karena berkata Allah.
Maka kita rumuskan pula tentang diri bathin itu sebagai berikut dibawah ini:
  1. Wujud bathin, hakikatnya adalah wujud Allah. Kepada kita jadi Rahasia. Maksudnya tentang Zat Tuhan itu tidak dapat dilihat dan diraba, hanya dengan nur iman dan dirasakan oleh sinar hati. Inilah yang dimaksud oleh hadits yang berbunyi: Al insanu sirri wa ana sirrohu. Artinya: insan itu rahasiaku, dan akupun rahasianya.
  2. Ilmu bathin, hakikatnya adalah sifat Allah, yang kepada kita menjadi nyawa/Ruh. Dan ruh itulah tempat majhor sifat-sifat Allah. Hingga dia kuasa memerintahkan jasad dan lain-lainnya.
  3. Nur bathin, hakikatnya Asma Allah, yang kepada kita menjadi hati. Maksudnya hati itu adalah tempat majhor daripada Asma Allah.
  4. Syuhud bathin, hakikatnya adalah Afal Allah, yang kepada kita menjadi batang tubuh. Maksudnya batang tubuh kita ini adalah tempat majhor dan tempat nyata perbuatan Allah. Jalannya adalah bahwa segala amal usaha lahir yang dilakukan oleh manusia. Tapi pada hakikatnya dan pada bathinnya adalah semata-mata perbuatan Allah.
Maka hal itu dinamakan penyaksian Bathin. Karena amal usaha dzahir itulah yang membuktikan perbuatan bathin. Itulah yang memberi bekas, karena terjadi dari sifat bathin, yang tidak bisa lepas dari ujudnya: yakni Zatnya yang maha kuasa. Demikianlah yang dinamakan tauhidul Zat, tauhidul Sifat, tuahidul Asma, tauhidul Af’al. maka melihat sesuatu apa saja perbuatan Allah.

Maka dengan demikian fana lah yang lain: yakni ujud lahir dan sifat lahir, dikala itu tidak ada yang ada kecuali bathin. Maka sekarang bathinlah yang melihat bathin/melihat gerakan Zat. Dari itu maka jelaslah sekarang kepada kita bahwa yang memandang ia yang memandang. Dan kalau sudah mantap pandangan ini, dengan sendirinya naiklah ke maqam baqabillah. Karena pada maqam ini seperti ucapan ahli tasawuf, BAQA itu ialah daripada Allah, dan dengan Allah.

Cara pandangan itu ada dua macam, pertama: 

SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH artinya: memandang yang satu kepada yang banyak. Dimana pokok pandangan dimulai dari syuhud bathin, naik kepada Nur bathin, dan kepada ilmu bathin. Dan akhirnya sampai kepada ujud bathin.

Pandangan kedua ialah: SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH, Artinya: memandang banyak kepada yang satu. Pandangan ini dimulai pada pangkal pertama yakni ujud bathin yang hakikatnya Zat semata-mata dan Zat yang satu itulah yang menerbitkan ilmu bathin; yakni Sifat. Dan juga Nur bathin yakni Asma. Bahkan syuhud bathin yakni Af’al. maka apabila yang banyak itu berasal dari yang satu: akhirnya akan kembali juga kepada yang satu. Dan apabila sekarang kita sudah kembalikan, maka tidak ada lagi ujud kecuali Allah semata. Tamsil, cahaya terang itu adalah permulaan dari sinar matahari, yang disebut siang. Sebelum itu didapat, lebih dahulu yang dipandang itu adalah cahayanya yang terang tersebut. Kemudian baru sinar yang menerangi itu, sinar itu menyatakan cahaya matahari. Meskipun tidak tampak, karena sinar itu tidak lepas dari matahari. Bahkan cahaya terang itu juga menyatakan adanya matahari, karena datang dari sinar yang ada pada matahari tersebut.

Maka apabila sudah lenyap dan fana segala yang lain daripada Allah Ta’ala dan sudah lenyap segala sifat-sifat kejadian, yakni majhor kenyataan, maka akan tercapailah maqam baqa; yang disebut juga maqam tajali atau Nampak, maqam Zuhur atau nyata; yang menghasilkan pandangan: 
  • MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH MA’AH Artinya: tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah besertanya.
  • MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH QABLAH Artinya: tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah sebelumnya.
  • MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH BA’DAH Artinya: tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah sesudahnya.
  • MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH FI’IH Artinya: tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah dalamnya.
Demikianlah makam yang dicari setelah melewati fana dan fana ul fana.

Adapun yang dimaksud dengan fana oleh ahli tasawuf ialah: lenyapnya perasaan hamba dari nafsu basyariah,yakni segala sifat-sifat ke-ia-an dan ke akuan dari kemanusiaan, sudah takluk pada tuhannya, maka jadilah ia baqa dengan Allah Ta’ala.

Pertanyaan yang kedua adalah tentang diri.

Kapankah datangnya dan kapan pula kembalinya? Jawabnya ialah: bahwa diri bathin itu datang kedunia ini adalah setelah adanya jasad, sesuai dengan firman Allah: yang artinya; kemudian kami sempurnakan jasad itu, lalu ditiupkan roh kepadanya.

Dan pertanyaan yang ketiga dan yang keempat ialah:

Darimana diri itu datangnya dan kemana pula kembalinya, serta apa maksud datang kedunia ini?

Jawabnya ialah: datangnya dari Allah dan kembalinya kepada Allah, adapun maksud datang kedunia ini adalah dengan jasad sebagai alatnya.

Karena sudah dijelaskan fasal yang lewat: yaitu laksana kuda tunggangannya dengan penunggangnya. Kuda ditamsilkan sebagai jasad. Dan Roh sebagai penunggangnya. Pada fasal yang lalu sudah kita jelaskan bahwa perjalanan salik dalam mencari dan mengenal Zat Allah itu adalah dimulai dari bawah hingga kepada keatas atau yang disebut TARRAQI: misalnya dimulai dari tauhidul asma, tauhidul sifat, tauhidul af’al dan tauhidul Zat sampai kepada LA’MAUJUDA BIHAQQIN ILLALLAH, artinya: Tidak ada yang ada kecuali dia jua yang ada.

Sekarang kita mengambil dalil dari pada kaum sufi yaitu sudah dimufakati bersama bahwa: segala sesuatu selain Allah pada hakikatnya tidak ada, dengan kata lain semua itu tidak dapat dikatakan ada, sebagai adanya tuhan.

Disini hamba katakan bahwa semua itu Allah dan Allah itu semuanya. Ujud alam ain ujud Allah dan Ujud Allah ain ujud alam. Allah itulah hakikat Alam: maka wajarlah kita ini dengan Zat Allah atau Ujud Allah (rahasia Allah).

Berkata ABU HASSAN AS SYAZILI r.a Bahwa; melihat Allah itu dengan penglihatan iman dan yakin, ini lebih kaya daripada melihat dalil-dalil. Lebih baik kita katakan bahwa; kita tidak akan melihat alam, dan andaikata ada juga, maka penglihatan itu atau penglihatan arifbillah itu tak ubahnya laksana melihat debu terbang diangkasa yang pada penglihatan ada, tapi/namun dicari tak ada, artinya: tak dapat menangkapnya. Itulah perjalanan arifbillah atau wali Allah; yang telah sampai kepda makam fana dan maqam baqa.

FANA TERBAGI ATAS TIGA BAGIAN.
  1. Fana pada Af’al (perbuatan), sampai merasakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun didalam alam ini. Selain dari perbuatan Allah Ta’ala.
  2. Fana pada Sifat, hingga sampai menyakinkan bahwa tidak ada yang hidup kecuali Allah. Apabila dikatakan tidak ada yang hidup pada hakikatnya kecuali Allah; berarti juga tidak ada yang kuasa, yang berkehendak, yang ber-ilmu, yang mendengar, yang melihat, dan yang berkata-kata, kecuali Allah semata-mata.
  3. Fana pada Zat ialah; hilang ujud yang lahir ini dan alam seluruhnya dan pandangan; kecuali Allah.
Jadi barang siapa yang melihat makhluk tidak punya perbuatan pada mereka, maka sesungguhnya ia menang. Dan barang siapa yang melihat makhluk yang tidak ada hidup pada mereka, maka derajatnya telah naik. Barang siapa melihat makhluk tidak ada pada hakikatnya, maka ia telah sampai kepada titik yang dituju, yaitu titik puncak ilmu dan ma’rifat. Apabila kita sudah menjalani yang tiga perkara ini, maka itulah maqam fana namanya, dan selanjutnya naik ke maqam baqa, maqam baqa itu ialah: HU ITU ALLAH TA’ALA. Sedang maqam fana kesimpulannya kepada: LAMAUJUDA BIHAQQIN ILLALLAH. Tidak ada yang maujud, kecuali Allah Ta’ala.

Demikianlah apa yang dapat hamba sampaikan, kalau sudah faham dan mengerti, kuburlah ia. Jangan dibeberkan ditengah masyarakat umum/awam, nanti bisa membawa fitnah besar. (Selanjutnya - Tauhid Asma, Sifat, Af'al dan Dzat)

File pdf:

https://googledrive.com/host/0B6BIN5otUZK0Tlc2QkZISVlFckU  
https://googledrive.com/host/0B6BIN5otUZK0LXVJSDMyYlZKdGs

KOMENTAR